Jumat, 05 Agustus 2011

Seandainya Aku…

Pagi ini benar-benar dingin. Maklumlah, karena kemarin malam hujan turun dengan derasnya. "Hoahem..," aku menguap lebar-lebar. Karena rasa lapar dan dingin yang sedari kemarin menyerang, memaksa tubuh kurus ini untuk mengemis makanan lagi. Aku berjalan di depan toko-toko yang masih tertutup rapat. Aku mencium bau ayam goreng, makanan favoritku sedari kecil, yang selalu ibu berikan padaku dulu. Tapi sekarang tidak lagi karena beliau telah tiada. Dan ayahku tak tahu dimana beliau sekarang. Aku mulai berjalan lagi, kubiarkan saja air mataku yang mulai jatuh di pipi. Karena aku yakin tak ada yang akan memperhatikan aku yang dekil menangis seperti ini.

Aku menoleh ke kiri jalan, ada sebuah sekolah yang masih tutup. Dulu sewaktu aku kecil, aku sering bermain disitu. Tapi sekarang tidak lagi karena dulu aku sering berangan-angan agar besok jika sudah besar bisa bersekolah disitu. Tapi, sampai sekarang aku tak sekolah dan tak akan sekolah. Aku menghela nafas panjang, dan kuteruskan berjalan untuk mencari ganjalan perut. Di depan kulihat penjual ayam goreng favoritku. Aku suka dengan masakan dan penjualnya, karena dia selalu memberiku makan gratis setiap kali aku datang ke warungnya.

Langkahku semakin kupercepat, perut ini sudah tidak sabar untuk diisi. Semakin cepat, lebih cepat dan…"Awww!" aku terpelanting ke tanah. Sepertinya aku menabrak sesuatu. Aku paksakan tubuhku untuk bisa berdiri lagi. Di sebelahku ada seorang anak perempuan jatuh terduduk, lututnya sedikit berdarah. Dia memandangku dengan ketakutan, lalu berlari menuju sekolahnya yang sudah terbuka gerbangnya. Aku tertegun sejenak, tatapan matanya telah menyihirku. Dia seorang gadis yang sangat cantik. Kurasa aku telah jatuh cinta.

Hari semakin terik. Perutku kembali terasa lapar. Tetapi rasa lapar itu sama sekali tidak kuhiraukan karena sekarang aku sedang menunggu gadis itu keluar dari sekolah. Banyak sudah para tunas bangsa itu keluar dari tempat tugas mereka. Akan tetapi, gadis impianku itu tak kunjung nampak. Aku mulai sebal, berjalan mondar-mandir kesana-kemari. Dan akhirnya, dia muncul juga bersama kedua temannya. Aku harus bagaimana sekarang? Apa aku harus mengatakannya di depan teman-temannya? Ah, sebaiknya jangan, nanti dia malah ketakutan melihatku.

Kalau begitu, bagaimana ya? Seribu macam pertanyaan keluar di kepalaku. Ah, aku tak peduli yang penting aku mengikuti mereka. Dan untunglah, mereka berpisah dipertigaan gang depan. Aku tersenyum puas. Sekarang, aku tinggal menjalankan aksiku. Aku mulai berjalan mengikutinya, berjalan, dan terus berjalan. Hingga akhirnya kami sampai di jalan yang sepi, sangat sepi hingga yang terdengar hanya langkah sepatu gadis itu saja. Aku mencoba memberanikan diri untuk mendekati. Semakin dekat dan "AAAAA…," gadis itu menjerit.

"Aaaa, pergi kau! Jangan mendekat. Aku jijik denganmu!" jeritnya. Aku terkejut, sangat terkejut, ketika dia mengucapkan kata jijik itu. Hatiku benar-benar hancur! Yah, tapi aku tahu diri kok. Mana mungkin kucing sepertiku bisa menjadi kekasih manusia secantik dia. Ah, seandainya aku manusia.

Tidak ada komentar: