Jumat, 05 Agustus 2011

putus

"Kamu nggak akan ninggalin aku kan Dave? Janji yah!" rajuknya manja
.
Winnie, gadis 17 tahun itu memandang tepat mataku. Pandangan mata yang begitu polos, begitu tulus, tapi begitu… membuatku jengah. Entah bagaimana dia selalu bisa langsung menghujam bola mata ini setiap kali ia menatapku
.
"Sabtu besok ada film bagus di bioskop. Kita nontong ya? Sudah lama kita nggak nonton berdua," ajaknya. Belum sempat aku menjawab, dia sudah membicarakan yang lain.

"Nanti Winnie pakai baju pink. Kamu kan paling senang lihat cewek yang pakai baju warna pink. Jadi kamu harus lihat Winnie terus, nggak boleh lirik kanan kiri," katanya. Sekarang dia malah sibuk mempersiapkan penampilannya.

Winnie, gadis yang kupacari sejak dua tahun yang lalu. Aku masih ingat betul saat pertama kami bertemu di jembatan yang menghubungkan gedung sekolah dan laboratorium. Saat itu, aku tidak sengaja menginjak kakinya."Auch!" pekik Winnie.

Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dia sudah terduduk di lantai, memegangi kaki kirinya."Maaf," kataku.

"Maaf gimana? Kamu nggak tahu yah, kemarin baru aja aku lepas plester dari jempol kakiku. Sekarang kamu injak lagi. Sakit tahu nggak? Kayaknya keseleo nih," ocehnya sambil membuka sepatu dan kaus kakinya.

Jempol mungil itu membiru. Aku jadi makin tidak enak hati.
"Eh, ngapain lihat-lihat doang? Aku nggak bisa jalan nih, bantuin dong," pintanya ketus.

Dengan hati-hati aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Ketika tangan kami bersentuhan, ada getaran aneh yang kurasakan. Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dia balas menatapku. Untuk beberapa detik kami bertatapan. Mungkin, saat itulah kami jatuh cinta.

Yang jelas, sejak kejadian itu kami jadi akrab. Mulanya kami hanya berkirim sms atau menelepon. Lalu aku mulai berani mengajaknya kencan yang berakhir dengan diterimanya pernyataan cintaku.

Winnie gadis yang manis. Sikapnya yang begitu natural dan spontan. Hubungan kami diwarnai dengan kejutan-kejutan yang selalu baru. Tapi sekarang…

"Dave!" panggilnya riang. "Jangan bengong dong! Antarin Winnie pulang yah. Atau kamu mau ajak Winnie jalan-jalan dulu? Kita main bowling yuk," katanya. Aku hanya diam. Kupandang mata bulatnya dan rambutnya yang berkibar ditiup angin. Aku ingat, aku dulu yang menyuruhnya memanjangkan rambut.

"Dave, Winnie pengin potong rambut nih! Boleh nggak?" dia bertanya. "Win," bisikku seraya mengelus rambutnya yang waktu itu masih sebahu. "Aku suka rambutmu yang lembut, halus, dan wangi. Kamu tambah cantik kalau rambutmu panjang," kataku.

Seketika wajah putihnya memerah. Memang begitu reaksi Winnie bila kupuji. Dan itu adalah salah satu hal yang aku sukai darinya.

"Tapi, main bowling bikin capek yah." Dia berceloteh lagi, membuyarkan lamunanku tentang rambutnya. "Gimana kalu ngobrol aja di rumah. Nanti Winni mainin lagu kesukaan kita," lanjutnya. Dia mulai menyenandungkan lagu kebangsaan kami.

Kami sama-sama suka biola. Bedanya, aku hanya bisa mendengarkan sedangkan Winnie begitu piawai memainkan alat musik itu. Dia memang bercita-cita menjadi violis handal. Selain sama-sama suka biola, kami juga suka lagu-lagu melankolis. Kasih Tak Sampai, sebuah lagu dari Padi adalah lagu favorit kami berdua.

Kami sering menyanyikan lagu itu dengan iringan biola Winnie sambil berpura-pura sedih menghayati lagu itu. Tak kusangka, kini lagu itu sungguh-sungguh terjadi dalam hubungan kami.
"Dave!" panggilnya lagi. "Jawab dong! Dari tadi kok diam terus? Kamu marah sama Winnie ya?" Ah… itulah Winnie. Bila aku tidak menanggapi ocehannya, dia selalu menyangka aku marah. Padahal, aku nyaris tidak pernah marah padanya.

Aku terlalu menyayanginya dan aku tidak pernah ingin menyakitinya. Tapi sekarang aku sudah tidak tahan lagi. Sudah terlalu lama dia berada dalam ketidakpastian ini. Aku harus… putus dengannya.
"Dave, jawab dong!" ucapnya setengah berteriak.

"Winnie," akhirnya aku bersuara. "Maafkan aku. Aku sayang kamu dan perasaan ini nggak berubah sampai sekarang. Tapi, kita sudah nggak bisa bersama lagi…" ucapku. Air mata yang paling kubenci itu mulai mengalir dari pelupuk matanya. Bibir mungil itu menjerit, "Kenapa Dave? Kenapa?"

Sambil menegarkan hati aku melanjutkan perkataanku, "Karena terlalu banyak perbedaan di antara kita. Aku nggak bisa masuk ke duniamu seperti halnya kamu nggak bisa masuk ke dalam duniaku. Maafkan aku… ini bukan keinginanku."
"Dave jangan pergi!" teriaknya.

Aku menatapnya dalam-dalam. Kuharap ini yang terakhir kalinya dia menemuiku. Sudah setahun ini ia setia menunggu terwujudnya harapan semu. Di antara mimpi dan realita. Kami berdua telah membohongi diri kami sendiri hanya karena takut menerima kenyataan. Kami menutupi kenyataan yang pahit dengan mimpi-mimpi yang manis. Padahal kami berdua sama-sama tahu, mimpi itu tidak akan pernah menjadi nyata.

"Winnie, carilah cowok lain yang bisa selalu menjaga dan menyayangimu lebih dari aku. Cowok yang dunianya sama dengan duniamu. Lupakan aku," kataku lagi. Akhirnya, kata-kata itu aku ucapkan, walaupun aku tidak yakin dia bisa mendengarku.

Ketika tubuhku terasa begitu ringan, saat itulah kubuat langkah terberat dalam hidupku. Langkah untuk meninggalkannya. Dalam benakku kenangan-kenangan manis itu hadir satu per satu. Kenangan-kenangan yang tak akan mungkin terulang kembali.

Sejenak aku menoleh ke belakang, memandang wajahnya yang sedih. Ingin rasanya aku berlari kembali, menyeka air matanya, dan memeluknya erat-erat. Tapi, itu semua tidak bisa aku lakukan. Melihatnya dalam keadaan begitu saja sudah membuatku sakit… sakit sekali. Aku sadar dia merasakan sakit yang sama, bahkan mungkin jauh lebih dalam.

Seorang teman pernah mengatakan padaku bahwa cinta yang bertepuk sebelah tangan tidak lebih sakit dibandingkan dengan cinta yang berbalas tapi tidak bisa bersatu. Dulu aku sering mengejeknya sok romantis. Tapi sekarang, aku benar-benar tahu makna kata-kata itu. Setidaknya bila cintaku bertepuk sebelah tangan, hanya aku sendiri yang merasakan sakitnya. Sementara sekarang, kami berdua sama-sama terluka. Luka yang entah kapan bisa pulih.

"Winnie," batinku, "semoga kamu selalu bahagia. Aku harap kamu mendapatkan cinta yang sejati yang tidak pernah meninggalkanmu seperti aku."

Angin sore berhembus semilir mengalirkan langkah kaki menuju tempatku yang sesungguhnya. Dengan mata nanar aku menatap pemandangan di hadapanku yang semakin lama semakin kabur…
Dia masih ada di sana, memeluk batu bisu itu.

Tidak ada komentar: